Senin, 25 Agustus 2008

Bila Do'a Tak Terjawab


Do’a adalah sarana bagi seorang hamba untuk beribadah kepada Rabbnya, karena do’a mengandung unsur ikatan hati yang kuat dan keikhlasan kepada Allah dan tidak adanya keinginan untuk berpaling kepada selain Allah dalam meraih manfaat dan menolak bahaya.

Dalam Al Qur’an terdapat perintah untuk melakukan shalat dan do’a disertai dengan ketabahan sebagai sarana untuk meraih suatu kebutuhan (Qs. 2 : 45)
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',

Dari sini dapat dipahami bahwa do’a saja, tanpa ketabahan dalam usaha, belum menjadi jaminan terpenuhinya harapan. Janji Allah yang menyatakan :
“Aku perkenankan do’a yang bermohon apabila ia bermohon kepada-Ku”. (Qs. 2 : 186).

“Apabila ia bermohon” merupakan syarat sekaligus isyarat bahwa ada saja yang mengangkat tangan dan menengadah ke langir, tetapi ia tidak berdo’a memohon kepada-Nya. Do’a yang tulus pasti diperkenankan oleh Tuhan. Jangankan yang dating dari seorang mukmin, seorang kafir bahkan iblis sekalipun doa’anya juga diperkenankan oleh Tuhan. (Qs. 15 : 37).

Do’a juga mengandung sebuah keyakinan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa dan tidak ada sesuatupun yang dapat melemahkan-Nya. Dia Maha Mengetahui, tidak ada sesuatu yang tersembunyi dan terlepas dari pengetahuan-Nya. Dia juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Hidup dan senantiasa mengurus seluruh makhluk-Nya, Maha Pemurah dan Dermawan, pemilik semua kebaikan yang tidak terputus selamanya, kemurahan-Nya, Maha Luas dan tidak terbatas kebaikan-Nya tidak akan pernah ada akhirnya, dan simpanan berkah-Nya tidak akan pernah habis.

Manfaat do’a tidak dapat diragukan lagi. Oleh karena itu, dengan segala sifat-sifat Allah Yang Maha Agung tersebut, telah menyebabkan manusia memohon dan berdo’a, dan seluruh makhluk yang ada di langit dan bumi memohon semua kebutuhannya dengan bahasa mereka masing-masing.
Di Negara Republik Indonesia, yang rakyatnya religius, upacara-upacara resmi sebagaimana halnya acara-acara keagamaan seringkali diakhiri dengan do’a. Hanya saja sebagian dari permohonan itu mungkin tidak memenuhi syarat berdo’a, karena jarang terasa bahwa permohonan yang dipanjatkan bagaikan “Laporan” kepada Tuhan yang disampaikan dengan bangga dan panjang lebar bagaikan “pidato” dihadapan-Nya, padahal kita diperintahkan agar “bermohon dengan rasa rendah diri dan dengan suara yang lembut” (Qs. 7 : 55)

Pada acara keagamaan, do’a yang dipanjatkan ada kecenderungan menghimpun semua do’a yang diketahui dan yang pernah dipanjatkan oleh makhluk Tuhan dalam berbagai situasi dan kondisi, sehingga do’a terasa membosankan dan “amin” diucapkan sebagai isyarat kepada si pendo’a agar menyudahi do’anya. Disamping itu, makna yang terkandung dalam do’a pun sering tidak memahaminya.

Kiranya kita masih perlu belajar berdo’a dimulai dari keharusan menyertai do’a dengan ketabahan “berusaha” sampai pada “etika” berdoa dan “materi” harapan yang dipanjatkan.
Do’a adalah alat ukur yang tepat untuk mengetahui derajat iman seseorang. Ibnu Taimiyah berkata : “Jika ingin mengetahui kebenaran iman di dalam hati Anda, maka perhatikanlah do’a Anda”.

Doa merupakan bentuk permohonan dari seseorang yang lemah kepada Yang Maha Kuasa, memohon pertolongan dari seorang yang teraniaya kepada Yang Maha Perkasa, seseorang menghadap dan mengharap kepada Sang Pengatur Alam dan seluruh urusan yang ada di langit dan di bumi, agar berkenan untuk menghilangkan kesulitan, mengangkat kesempitan dan melapangkannya atau mengabulkan harapan dan keinginannya.
Kalaupun do’a kita telah dikecewakan oleh Allah, kita tetap yakin bahwa Allah lah yang memiliki kekuasaan. Allah yang memberi dan mencabutnya “dalam genggaman tangan-Nya segala kebajikan”. Firman Allah dalam Surat Al Baqoroh ayat 216 :
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia (akibatnya) amat baik bagiu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia (akibatnya) amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”

Oleh karena itu, tiap orang bias menyesal dan sedih, tetapi jangan mengutuk dan terbawa “emosi” terlalu jauh, kenapa do’a nya “tak terjawab?” Jangan salahkan Allah bila do’a tak dikabulkan atau belum dikabulkan dan jangan pula menggerutu atau jemu. Shaih Abdul Qodir Jaelani dalam bukunya “Mafatih Al Ghaib” menjelaskan : “Jika Anda memohon tibanya cahaya siang pada saat kian memekatnya kegelapan malam, maka penantian anda akan lama, karena kepekatan akan meningkat hingga tibanya fajar. Tetapi yakinlah bahwa fajar pasti menyingsing, baik Anda kehendaki atau tidak. Jika Anda menghendaki kembalinya malam pada saat itu, maka do’a anda tidak akan dikabulkan karena Anda meminta sesuatu yang tak layak, dan Andan akan dibiarkannya meratap, lunglai, jemu dan enggan. Tetapi anda salah bila jemu berdo’a, karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesaat setelah datangnya satu kesulitan pasti disusul oleh “dua kemudahan”, karena itu tetaplah yakin bahwa dalam genggaman tangan-Nya terdapat segala kebajikan.

Apabila apa yang dimohonkan tidak diperoleh dengan segera, Anda tak akan rugi karena, lanjut Syaih Abdul Qodir Jaelani, Nabi pernah bersabda : “Pada hari kebangkitan ada yang terheran-heran melihat ganjaran perbuatan yang dirasakan tak pernah dilakukannya. Ketika itu disampaikan kepadanya : “Inilah do’a-do’amu di dunia yang dulu tidak dikabulkan”. Karena itu, janganlah jemu berdo.a juga jangan menggerutu, apalagi mengutuk.

Betapapun akhirnya Innamal a’malu binniyat : setiap usaha dinilai Allah berdasarkan niyat pelakunya. Dan niat itu hanya Allah yang tahu. Kita diperintahkan berprasangka baik. Karena tidak wajar menurut agama bersu’udzan kepada Allah, apalagi mereka yang berdo’a.

0 komentar: